Kehujjahan Hadis Daif Dalam Permasalahan Hukum Menurut Pendapat Abu Hanifah
Keywords:
Kehujjahahan, Hadis Dhoif, Hukum, Abu HanifahAbstract
Hadis secara otentisitas tidak sama dengan al-Qur’an. Secara formal al-Qur’an telah ditulis pada masa Rasulullah saw setiap wahyu turun, dengan demikian, otentisitas al-Quran dan validitasnya dapat terjamin. Sedangkan hadis baru dibukukan secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (61-101 H). Dengan demikian, untuk menjamin kebenaran dan kesahihan hadis membutuhkan penelitian dan analisis secara kritis. Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa hadis daif tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat, hadis daif boleh dijadikan sebagai landasan hukum. Menurut pandangan Abu Hanifah, hadis daif lebih baik dari pada qiyas dan ra’yu. Hadis Rasul yang dianggap daif oleh Abu Hanifah adalah hadis āhād jika bertentangan dengan al-Quran, hadis mutawatir dan hadis masyhur. Perawi hadis āhād, riwayatnya tidak boleh bertentangan dengan perbuatannya. Apabila hadis āhād tidak memenuhi kriteria tersebut, maka Abu Hanifah menganggap sebagai hadis daif atau hadis mardud. Oleh karena itu, dia mendahulukan mengamalkan hadis-hadis mursal dari pada meng-amalkan kias. Hadis daif juga dapat dijadikan sumber Hukum.